Biografi dan Pemikiran Anselmus
Dunia kita mengalami kemajuan yang semakin cepat dari tahun ke tahun. Kemajuan tersebut dapat kita lihat di berbagai bidang, mulai dari bidang seni, kesehatan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Perlu kita ketahui bahwa dari seluruh bidang-bidang tersebut masih ada hubungannya dengan filsafat.
Kita dapat mengatakan demikian karena filsafat merupakan “mother of sciene” atau “ibunya ilmu pengetahuan”. Filsafat juga merupakan hasil dari pemikiran, pemahaman atau keyakinan dari individu-individu yang memiliki kemampuan dalam berfikir. Banyak sekali individu-individu yang memiliki kemampuan berfikir yang tinggi, sehingga mereka disebut para ahli. Di bidang ilmu kefilsafatan, orang-orang yang ahli dalam berfilsafat disebut filsuf.
Di dunia ini, banyak para ahli-ahli filsafat yang melahirkan pemikiran-pemikiran yang luar biasa dan pemikirannya tersebut masih digunakan hingga saat ini, khususnya di dunia ilmu pengetahuan. Pada dasarnya, tokoh-tokoh filsafat di dunia dikelompokkan menjadi tiga bagian berdasarkan zaman di mana mereka hidup pada saat itu. Ada tokoh filsafat di zaman Yunani Kuno, abad pertengahan dan abad modern. Tokoh-tokoh yang terkenal di filsafat antara lain Plato, Socrates, Rene Descartes, Immanuel Kant dan masih banyak lagi yang lainnya. Pada pembahasan ini, yang akan dibahas adalah tokoh filsafat di abad pertengahan, yaitu Anselmus.
Setelah ibunya meninggal, ia pergi mengembara ke Abbey, Bec, dan di sana ia belajar di bawah bimbingan Prior Lanfranc. Pada tahun 1060, Anselmus diangkat menjadi biarawan, seperti yang ia cita-citakan. Tiga tahun kemudian, ketika Lanfranc dilantik menjadi Abbot, Anselmus menggantikan posisi Lanfranc menjadi prior, mengalahkan para seniornya. Selama 30 tahun kemudian, Anselmus menulis filsafat dan teologi dan ditetapkan sebagai Abbot di Bec.
Anselmus dikenal sebagai Bapak Tradisi Skolastik dan uskup besar (Archbishop) di Canterbury dari tahun 1093 hingga meninggal. Ketertarikannya pada bidang filsafat adalah argumentasi logis yang menyangkut Monologion dan Proslogion. Monologion merupakan solilokui atau berbicara pada diri sendiri, sedangkan proslogion adalah discourse atau berwacana. Keduanya memberikan argumentasi yang bertujuan untuk membuktikan keberadaan Tuhan.
Argumen ontologis Anselmus ini terlihat jenius karena kesederhanaannya. Argumen Anselmus ini kemudian mendapat kritikan. Kritikan terhadap arguman Anselmus ini pertama datang dari seorang biarawan Benedictine yang bernama Gaunilo dari Marmoutiers. Gaunilo mengemukakan pendapatnya yang menyatakan bahwa jika argumen Anselmus benar, maka orang dapat berpikir tentang adanya pulau yang hilang, pulau itu yang paling sempurna keindahannya. Karena secara definisi pulau hilang itu adalah yang paling sempurna,maka harus ada eksistensi ulau itu juga. Karena kalau kurang sempurna, maka pulau itu tidak ada seperti yang dipikirkan.
Pada intinya, Gaunilo mengajukan keberatan pendapat Anselmus yang memberi lisensi pada keberadaan barang-barang imajinatif dan menganggapnya ada, dan itu tidak benar. Untuk menjawab kritikan ini, Anselmus mengajukan syarat bahwa kualitas kesempurnaan hanya dapat ditujukan pada Tuhan dan tidak dapat diaplikasikan pada objek di luar Tuhan. Jadi, argumen ontolog miliknya hanya boleh digunakan untuk membuktikan keberadaan Tuhan Yang Maha Sempurna dan tidak boleh digunakan untuk membuktikan eksistensi pulau sempurna karena secara ontologis tidak ada hal yang sempurna di luar Tuhan.
Argumen ontologis dari Anselmus ini kemudian digunakan oleh Santo Thomas Aquinas (filsuf ke-22) dan Rene Descartes (filsuf ke-33). Lebih lanjut, pemikirannya akan mendapat kritikan dari Immanuel Kant (filsuf ke-45) yang mengatakan bahwa konsep Tuhan Yang Sempurna tidak perlu menimbulkan perdebatan eksistensi. Alasannya, eksistensi menyangkut ketidaksempurnaan. Konsep Yang Sempurna itu eksis tidak lebih dan tidak kurang benar dari Konsep Yang Sempurna yang tidak eksis. Sebagian filsuf setuju bahwa argumen ontologis Anselmus berkisar pada kenyataan bahwa tidak mumgkin membuktikan ada atau tidak adanya eksistensi hanya dengan menganalisis kata atau konsep. Persetujuan sebagian para filsuf itu pun menimbulkan perdebatan baru, di manakah letak kesalahan logis penggunaan analisis konsep.
Perdebatan ini dihangatkan kembali pada sekitar tahun 1960-an ketika filsuf Norman Malcolm mengajukan argumen, “Sesuatu yang mungkin ada dan perlu ada, maka ia harus ada. Karena akan kontradiktif jika yang perlu ada dan mungkin ada itu tidak ada. Keberadaan Tuhan hanya dapat dibantah jika terkandung kontradiksi di dalamnya. Hal inilah yang dialami oleh para penentang keberadaan Tuhan bahwa argumennya memiliki kontradiksi di dalamnya, seperti yang ditunjukkan oleh Anselmus.
Konsep ini juga dapat digunakan untuk menguji, apakah “Tuhan” yang kita persepsikan sebagai Tuhan itu benar-benar Tuhan Yang Sempurna. Misalnya, jika Tuhan yang kita persepsikan dengan karakter seperti manusia (dewa-dewa antropomorfis, dewa-dewa yang dianut oleh bangsa Yunani Kuno) menunjukkan ketidaksempurnaan karakter Tuhan, Tuhan tersebut sebenarnya bukan Tuhan. Karena Tuhan Yang Sebenarnya harus Sempurna,bersih dari segala sifat ketidaksempurnaan, bersih dari kelemahan dan bersih dari segala sifat-sifat bukan Tuhan. Dengan kata lain, jika ada seseuatu yang dipersepsikan sebagai Tuhan, tetapi ternyata memiliki sifat Tidak Sempurna, berarti itu bukan Tuhan dan yang mengatakannya, menurut Anselmus, adalah “si bodoh”.
Ontologis merupakan salah satu cabang filsafat yang membahas sifat-sifat keberadaan sebuah objek.
Berdasarkan pengertian teori di atas, kita bisa mengambil satu kesimpulan bahwa Anselmus menyusun argumentasi tentang keberadaan Tuhan secara antologis, karena ia mengatakan bahwa Tuhan itu benar-benar ada dengan ke-Maha Besar-Nya dan ke-Maha SempurnaanNya.
Pemikiran Anselmus ini masih digunakan hingga saat ini, khususnya mengenai hal-hal yang menyangkut aspek kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Ari Yuana,Kumara.2010.The Greatest Phylosophers.Jogjakarta:Andi Yogyakarta.
www.wikipedia.com
Penyusun : Fitri Astuti
Kita dapat mengatakan demikian karena filsafat merupakan “mother of sciene” atau “ibunya ilmu pengetahuan”. Filsafat juga merupakan hasil dari pemikiran, pemahaman atau keyakinan dari individu-individu yang memiliki kemampuan dalam berfikir. Banyak sekali individu-individu yang memiliki kemampuan berfikir yang tinggi, sehingga mereka disebut para ahli. Di bidang ilmu kefilsafatan, orang-orang yang ahli dalam berfilsafat disebut filsuf.
Di dunia ini, banyak para ahli-ahli filsafat yang melahirkan pemikiran-pemikiran yang luar biasa dan pemikirannya tersebut masih digunakan hingga saat ini, khususnya di dunia ilmu pengetahuan. Pada dasarnya, tokoh-tokoh filsafat di dunia dikelompokkan menjadi tiga bagian berdasarkan zaman di mana mereka hidup pada saat itu. Ada tokoh filsafat di zaman Yunani Kuno, abad pertengahan dan abad modern. Tokoh-tokoh yang terkenal di filsafat antara lain Plato, Socrates, Rene Descartes, Immanuel Kant dan masih banyak lagi yang lainnya. Pada pembahasan ini, yang akan dibahas adalah tokoh filsafat di abad pertengahan, yaitu Anselmus.
A. Biografi Tokoh
Setelah ibunya meninggal, ia pergi mengembara ke Abbey, Bec, dan di sana ia belajar di bawah bimbingan Prior Lanfranc. Pada tahun 1060, Anselmus diangkat menjadi biarawan, seperti yang ia cita-citakan. Tiga tahun kemudian, ketika Lanfranc dilantik menjadi Abbot, Anselmus menggantikan posisi Lanfranc menjadi prior, mengalahkan para seniornya. Selama 30 tahun kemudian, Anselmus menulis filsafat dan teologi dan ditetapkan sebagai Abbot di Bec.
Anselmus dikenal sebagai Bapak Tradisi Skolastik dan uskup besar (Archbishop) di Canterbury dari tahun 1093 hingga meninggal. Ketertarikannya pada bidang filsafat adalah argumentasi logis yang menyangkut Monologion dan Proslogion. Monologion merupakan solilokui atau berbicara pada diri sendiri, sedangkan proslogion adalah discourse atau berwacana. Keduanya memberikan argumentasi yang bertujuan untuk membuktikan keberadaan Tuhan.
B. Pemikiran Anselmus
Argumen ontologis Anselmus ini terlihat jenius karena kesederhanaannya. Argumen Anselmus ini kemudian mendapat kritikan. Kritikan terhadap arguman Anselmus ini pertama datang dari seorang biarawan Benedictine yang bernama Gaunilo dari Marmoutiers. Gaunilo mengemukakan pendapatnya yang menyatakan bahwa jika argumen Anselmus benar, maka orang dapat berpikir tentang adanya pulau yang hilang, pulau itu yang paling sempurna keindahannya. Karena secara definisi pulau hilang itu adalah yang paling sempurna,maka harus ada eksistensi ulau itu juga. Karena kalau kurang sempurna, maka pulau itu tidak ada seperti yang dipikirkan.
Pada intinya, Gaunilo mengajukan keberatan pendapat Anselmus yang memberi lisensi pada keberadaan barang-barang imajinatif dan menganggapnya ada, dan itu tidak benar. Untuk menjawab kritikan ini, Anselmus mengajukan syarat bahwa kualitas kesempurnaan hanya dapat ditujukan pada Tuhan dan tidak dapat diaplikasikan pada objek di luar Tuhan. Jadi, argumen ontolog miliknya hanya boleh digunakan untuk membuktikan keberadaan Tuhan Yang Maha Sempurna dan tidak boleh digunakan untuk membuktikan eksistensi pulau sempurna karena secara ontologis tidak ada hal yang sempurna di luar Tuhan.
Argumen ontologis dari Anselmus ini kemudian digunakan oleh Santo Thomas Aquinas (filsuf ke-22) dan Rene Descartes (filsuf ke-33). Lebih lanjut, pemikirannya akan mendapat kritikan dari Immanuel Kant (filsuf ke-45) yang mengatakan bahwa konsep Tuhan Yang Sempurna tidak perlu menimbulkan perdebatan eksistensi. Alasannya, eksistensi menyangkut ketidaksempurnaan. Konsep Yang Sempurna itu eksis tidak lebih dan tidak kurang benar dari Konsep Yang Sempurna yang tidak eksis. Sebagian filsuf setuju bahwa argumen ontologis Anselmus berkisar pada kenyataan bahwa tidak mumgkin membuktikan ada atau tidak adanya eksistensi hanya dengan menganalisis kata atau konsep. Persetujuan sebagian para filsuf itu pun menimbulkan perdebatan baru, di manakah letak kesalahan logis penggunaan analisis konsep.
Perdebatan ini dihangatkan kembali pada sekitar tahun 1960-an ketika filsuf Norman Malcolm mengajukan argumen, “Sesuatu yang mungkin ada dan perlu ada, maka ia harus ada. Karena akan kontradiktif jika yang perlu ada dan mungkin ada itu tidak ada. Keberadaan Tuhan hanya dapat dibantah jika terkandung kontradiksi di dalamnya. Hal inilah yang dialami oleh para penentang keberadaan Tuhan bahwa argumennya memiliki kontradiksi di dalamnya, seperti yang ditunjukkan oleh Anselmus.
Konsep ini juga dapat digunakan untuk menguji, apakah “Tuhan” yang kita persepsikan sebagai Tuhan itu benar-benar Tuhan Yang Sempurna. Misalnya, jika Tuhan yang kita persepsikan dengan karakter seperti manusia (dewa-dewa antropomorfis, dewa-dewa yang dianut oleh bangsa Yunani Kuno) menunjukkan ketidaksempurnaan karakter Tuhan, Tuhan tersebut sebenarnya bukan Tuhan. Karena Tuhan Yang Sebenarnya harus Sempurna,bersih dari segala sifat ketidaksempurnaan, bersih dari kelemahan dan bersih dari segala sifat-sifat bukan Tuhan. Dengan kata lain, jika ada seseuatu yang dipersepsikan sebagai Tuhan, tetapi ternyata memiliki sifat Tidak Sempurna, berarti itu bukan Tuhan dan yang mengatakannya, menurut Anselmus, adalah “si bodoh”.
C. Penerapan pemikiran Anselmus di kehidupan saat ini.
Kesimpulan
Anselmus yang merupakan tokoh agama Kristen di abad pertengahan juga memiliki kecerdasan dalam berfilsafat. Pemikiran Anselmus tentang teori kesempurnaan Tuhan dikaitkan dengan ontologis.Ontologis merupakan salah satu cabang filsafat yang membahas sifat-sifat keberadaan sebuah objek.
Berdasarkan pengertian teori di atas, kita bisa mengambil satu kesimpulan bahwa Anselmus menyusun argumentasi tentang keberadaan Tuhan secara antologis, karena ia mengatakan bahwa Tuhan itu benar-benar ada dengan ke-Maha Besar-Nya dan ke-Maha SempurnaanNya.
Pemikiran Anselmus ini masih digunakan hingga saat ini, khususnya mengenai hal-hal yang menyangkut aspek kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Ari Yuana,Kumara.2010.The Greatest Phylosophers.Jogjakarta:Andi Yogyakarta.
www.wikipedia.com
Penyusun : Fitri Astuti
Posting Komentar untuk "Biografi dan Pemikiran Anselmus"