Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

 Tulis Artikel dan dapatkan Bayaran Tiap Kunjungan Rp 10-25 / kunjungan. JOIN SEKARANG || INFO LEBIH LANJUT

Evariste Galois



 Matematikawan yang meninggal karena duel


Evariste Galois
1811 - 1832


Galois

Riwayat
Setelah lama mengharapkan kehadiran anak lelaki, pasangan Nickolas Gabriel Galois dengan Adelaide-Marie Demante Galois, akhirnya mendapatkan anak lelaki yang dinamainya Evariste Galois. Ayah Evariste adalah direktur sebuah sekolah terkenal di Bourg-la-Reine, kota kecil yang letaknya tidak jauh dari kota Paris. Ibu Evariste adalah orang terpelajar, cerdas dan termasuk kalangan intelektual pada masa tersebut. Rupanya kelahiran Evariste membawa keberuntungan bagi keluarga karena tidak lama setelah itu, ayahnya dipromosi menjadi walikota kota Bourg-la-Reine dan kelak memunyai seorang anak lelaki lagi.


Intelektualitas dan sifat menantang tirani Nickolas kelak mengalir pada darah keturunannya. Masa-masa paska revolusi, kembalinya Napoleon dan masih runcingnya perselisihan antara kelompok petani dan kalangan gereja mewarnai kelahiran Evaliste. Akan tetapi apakah semua pergolakan ini berpengaruh pada naik dan turunnya nasib Evariste?
Evariste memunyai kakak perempuan dan seorang adik laki, Alfred, yang umurnya selisih beberapa tahun dengannya. Seperti lazimnya anak-anak keluarga terpandang saat itu, sampai umur 12 tahun, ketiga anak ini dididik oleh ibunya sampai siap masuk sekolah. Didikan ayah yang cenderung keras yang memberi penekanan pada bidang klasik dan agama, ditentang oleh ibunya yang meskipun secara tidak mencolok membiarkan pikiran setiap anaknya terbuka dengan sendiri. Ibu yang tegar ini – seperti yang akan dikisahkan – meninggal pada tahun 1872 pada usia 84 tahun. Begitu mencapai umur 12 tahun, Evariste diterima di sekolah Louis-le-Grand, sekolah terkenal di Paris yang pernah meluluskan Voltaire dan Victor Hugo.


Rezim Sekolah

Laksana kayu lapuk dimakan usia, begitu pula sekolah Louis-le-Grand yang pernah terkenal ini mengalami penurunan kualitas dan kondisi bangunan sekolah makin parah. Untuk menjaga kedisiplinan ini dibuatlah peraturan bahwa setiap murid harus bangun pukul 05.30, mengenakan baju seragam warna hitam, asrama tidak dilengkapi dengan pemanas ruangan, bahkan tempat tidur penuh dengan kepinding. Disiplin menjadi pokok utama sehingga pelajaran dimulai dari pagi sampai sore hari. Makanan kualitas buruk, meskipun Perancis dikenal karena makanannya jangan berharap terjadi di sekolah. Penekanan utama pelajaran adalah pada bahasa Latin dan [ilmu-ilmu] klasik, karena ada anggapan bahwa dengan mampu menulis dan membaca bahasa Latin secara fasih tergolong sebagai orang terpelajar.
Tidaklah mengherankan apabila terjadi pemberontakan oleh murid. Sekolah dianggap rezim lalim dan guru-guru dibenci. Pelajaran diisi dengan saling lempar buku teks, kamus kepada instruktur-instruktur bahasa Latin dan bahasa Yunani. Untuk meredam ‘aksi’ ini, pihak sekolah mengeluarkan kebijakan dengan mengeluarkan 40 anak yang dianggap pemicu. Pada saat kurang tepat inilah, Evariste masuk sebagai murid. Saat berlangsung pesta pelantikan 150 murid teladan, diikuti dengan sumpah-serapah dan kebencian terhadap pengelola sekolah. Semua menolak toast untuk Raja Louis XVIII yang naik tahta setelah Napoleon dikucilkan lewat aksi diam dan tetap duduk ketika harus melakukan penghormatan. Penutupan pesta dirayakan dengan menyanyikan lagu “terlarang” Mersaillaise, lagu kebangsaan republik yang sudah runtuh beberapa tahun sebelumnya.
 

Pecinta matematika

Pihak berwenang sekolah menangani pelecehan, penghinaan dan penghianatan politikal ini dengan mengeluarkan 150 murid teladan dari sekolah dengan tidak hormat. Sayangnya, Evariste tidak termasuk salah satu murid teladan itu, karena masih tergolong anak biasa-biasa saja. Umur 15 tahun, tidak naik kelas, dan harus mengulang pelajaran yang paling tidak disukainya yaitu bahasa Latin. Kesal dengan hal ini, Evariste banting setir dengan memilih matematika – subyek yang tidak terdapat dalam kurikulum sekolah – dan masuk kelas geometri. Pelajaran pertama, langsung membuatnya jatuh hati, dan Evariste berubah menjadi getol dengan matematika. Buku karangan Lagrange, Geometri, adalah buku acuannya. Semua buku-buku matematika dalam perpustakaan sekolah dilahap. Setiap hari belajar dan berpikir tentang matematika. Mampu mempelajari buku geometri dalam waktu dua hari, terpesona dengan keindahannya, struktur aksioma dan theorema. Setelah dirasa menguasai geometri, beralih ke aljabar dengan belajar sendiri lewat buku. Buku-buku karangan Lagrange, Cauchy, Legendre dan para matematikawan terkemuka dilalapnya sampai benar-benar paham. Pemahaman ini membuat Evariste berupaya mencari rumus (formula) untuk menyelesaikan persamaan pangkat empat bahkan persamaan pangkat lima.*)


Diskriminasi Guru
Bakat matematika luar biasa Galois mencengangkan para gurunya, namun semua itu tidak mendapat perhatian. Para guru ini terlalu arogan dan meremehkan bakat anak ini dengan berusaha membuat nasib anak ini ada ditangannya. Lewat intimidasi bahwa Galois termasuk anak yang bermasalah, tidak mau mengerjakan tugas sekolah, susah memahami pikiran guru bahkan tidak lulus ujian akhir. Ketekunan Galois atau dapat disebut kegilaan matematika memecahkan persamaan pangkat 4 dan pangkat 5 merasuki Galois sehingga disarankan agar mengganti topik tersebut. Meski dianggap membuang waktu dan dihukum oleh guru tetap tidak menyurutkan minatnya sehingga sifatnya menjadi makin tertutup. Untuk menghindari “tekanan” Louis le Grand ini, Galois akhirnya merencanakan pindah ke Ecole Polytechnique, sekolah matematika terbaik di Perancis, meskipun sempat ditahan dengan alasan perlu satu tahun lagi untuk menemukan “metode.” Galois yang tidak melihat nilai tambah lagi – dia lebih tahu dibandingkan gurunya – umur 16 tahun mengikuti ujian masuk di Ecole. Namun gagal. Kembali ke sekolah dan kembali dijegal oleh guru, sehingga tanpa daya dia terpaksa “rela” diawasi oleh guru itu selama satu tahun lagi. Umur 17 tahun, menulis makalah hasil penelitiannya tentang solvabilitas persamaan-persamaan aljabar, untuk kemudian dikirim ke Akademi Perancis. Bagi yang pernah membacanya, akan mengetahui bahwa makalah ini berisi “Beberapa gagasan-gagasan besar matematika abad ini.” Memang abad 19 dapat disebut dengan masa keemasan bagi matematika. Tidak puas dengan penolakan masuk Ecole, pada usia ini, kembali Galois ikut ujian masuk Ecole. Hasilnya, ternyata, masih sama, ditolak.
Bukan berarti tidak ada guru yang mengenali kejeniusan Galois. Seorang guru, Louis Paul Emile Richard (1795 – 1849), yang mengajar matematika di Louis le Grand dan Sorbonne berupaya keras meyakinkan para matematikawan Perancis lain tentang Galois. Meskipun Richard berupaya bahkan pernah meneriakkan nama Galois di atas atap rumah agar dapat menyakinkan siswa-siswa lain tentang kejeniusan Galois; memberi penghargaan atas makalah Galois yang disebut dengan matematika masa depan, namun semua itu tampaknya sia-sia. 


Menumpuk kebencian
Tragedi rupanya tidak perlu jauh dari sekolahnya. Walikota Bourg-la-Reine, Nickolas Galois, tidak lain ayah Galois, pamit pergi meninggalkan rumah untuk pergi ke Paris, tapi ternyata bunuh diri di dekat sekolah Louis le Grand. Orang yang mengalami semua pergolakan politik: kekaisaran  Napoleon, kembalinya Napoleon dari Elba, pertentangan monarki dan republikan, ternyata mengakhiri hidupnya dengan jalan bunuh diri gara-gara selebaran gelap.
Sebelumnya beredar selebaran gelap yang menuduh bahwa Nickolas Galois adalah pelindung kriminal dan mengungkapkan borok-borok anggota keluarganya dianggapnya  akan mampu mencoreng reputasi adalah penyebab.  Disinyalir bahwa pembuat selebaran adalah pendeta Jesuit yang merasa tersingkirkan perannya dan dimusuhi rakyat setelah terjadi revolusi. Saat ayahnya dimakamkan terjadi bentrokan antara rakyat dan kalangan Jesuit. Benih kebencian mulai tumbuh.
Saat itu matematikawan Perancis yang paling berpengaruh adalah Cauchy. Makalah karya Galois tentang pecahan-pecahan berkesinambungan yang dikirim ke Ecole seharusnya diperiksa oleh Cauchy, namun kesibukan dalam menjabarkan ulang karya Euler dan Cayley yang sangat banyak membuat makalah Galois hilang. Kesalahan ini dapat ditimpakan sepenuhnya kepada Cauchy. Sejarah mencatat bahwa Cauchy membuat dua kesalahan fatal: menghilangkan karya Galois dan meremehkan karya Abel. Bibit kebencian Galois makin besar, sebelum pulang dan menyiapkan diri memulai karir sebagai seorang pengajar. Ketika menjadi anggota garda nasional, Galois sempat mengirim makalah matematika tentang solusi umum terhadap persamaan ke Academy of Sciences. Namun Poisson menilai bahwa makalah itu tidak lengkap.


Bergabung dengan Republikan
Umur 19 tahun, Galois tetap berkarya dengan gagasan-gagasan miliknya. Dengan penuh harapan besar Galois mengirim makalah kepada Academy of Sciences, sebagai peserta kompetisi matematika yang berhadiah. Hanya matematikawan besar yang berani menjadi peserta. Banyak pakar menilai makalah Galois lebih berharga dibandingkan dengan hadiah itu sendiri karena keaslian ide. Makalah diterima oleh sekretaris dengan utuh, dibawa pulang untuk dipelajari, tapi ternyata sekretaris itu meninggal dunia. Ketika makalah dicari lagi setelah meninggalnya sekretaris itu, ternyata tidak dapat ditemukan. Mendengar hal ini Galois mengeluarkan sumpah-serapah tentang kesialan yang terus menimpa. Ucapan Cauchy, ”Genius yang terlibat dengan organisasi sosial terlarang” tentang dirinya membuat dia makin marah yang mulai mengabdikan dirinya untuk kaum republikan, yang menjurus ke radikalisme.
Revolusi pada tahun 1830 membuat Galois gembira. Berupaya mengerahkan siswa-siswa untuk turun ke jalan, namun dilarang oleh pihak akademi dengan cara mengunci Galois dalam kampus, sedangkan dinding kampus tidak mampu dipanjatnya. Revolusi berlangsung 3 hari sebelum dibentuk pemerintahan sementara. Kembali mengajar aljabar tingkat tinggi, namun akhirnya tidak ada murid yang sanggup. Kekecewaan ini diungkapkan dengan menjadi anggota artileri garda nasional (National Guard) yang ditulisnya dengan, ”Saya mendarmabaktikan diriku.”


Masuk penjara
Galois melakukan protes bersama sekitar 200 republikan menentang kekuasaan raja dengan membawa karangan-karangan bunga. Dilakukan toast minum bersama untuk mengenang revolusi tahun 1789, tahun 1793, untuk Robespierre dan revolusi tahun 1830. Tangan kanan memegang gelas untuk toast, tangan kiri – motif tidak diketahui teman-temannya – merogoh saku dan menghunus pisau lipat sambil mengucap: “Untuk Louis Philippe” – Raja. Hal ini diartikan sebagai ancaman bagi jiwa Raja. Melihat hal ini, teman-temannya menyuruh Galois duduk. Meskipun pada hari itu tidak terjadi apa-apa dan terus berdansa sepanjang malam, namun esok harinya Galois ditangkap di rumah ibunya dan dipenjara di Sainte-Pelagie.
Dibantu oleh pengacara handal temannya yang menyatakan bahwa Galois menghunus pisau untuk memotong ayam dan peristiwa itu tidak terjadi di jalanan umum. Keputusan juri, akhirnya, memutuskan Galois bebas. Kebebasan ini tidak bertahan lama, sebulan kemudian, Galois kembali ditangkap dengan tuduhan “radikalis yang berbahaya” dan kembali dipenjara. Ketika ditangkap ini Galois mengenakan seragam garda nasional yang sudah dinyatakan sebagai gerakan terlarang. Semua temannya dihukum penjara 3 bulan, namun dia sendiri dihukum 6 bulan.
Wabah kolera melanda (baca: Lobatchevsky) kota Paris pada tahun 1832 membuat para tapol (tahanan politik) diperlonggar dan dapat tinggal di rumah sakit. Pada saat di penjara ini, Galois mengenal seorang wanita. Pengalaman pertama sekaligus (urusan) cinta baginya. Pengalaman ini justru membuat Galois merasa muak dengan cinta, dengan dirinya dan dengan wanita itu, seperti yang diungkapkannya lewat surat kepada teman terbaik, Auguste Chevalier. Hari itu, tanggal 25 Mei 1832, empat hari sebelum dia bebas dari penjara, 29 Mei 1832. Sambil mengungkapkan rencana menyepi ke desa untuk meditasi dan istirahat.


Warisan Galois
Hari Rabu pagi tanggal 31 Mei 1832. Galois yang berusia 30 tahun, meninggalkan makalah sebanyak 60 halaman. Meninggal?. Belum. Beberapa jam sebelumnya, seorang petani menemukan Galois yang tertembak lambungnya, sendirian, terbaring di lumpur dan segera mengangkatnya. Evariste dibawa ke rumah sakit, namun ditolak. Permintaan terakhirnya adalah bertemu dengan saudaranya, Alfred. Sampai nafas penghabisan, Alfred terus berada disampingnya seraya memerintahkan polisi untuk menangkap penembak Galois, Pecheux d’Herbinville, “Anak remaja, duel demi kehormatan.”; polisi akhirnya menembaknya.
Polisi mencatat: “Galois, terbunuh dalam duel dengan salah seorang temannya.” Meskipun tidak jelas apa pemicu duel tersebut, namun disinyalir dalam kaitan dengan wanita dan hal jatuh cinta. Galois dimakamkan di tempat pemakaman umum. Saudaranya, Alfred dan sabahat karibnya, Auguste Chevalier, membeberkan surat-surat Galois untuk diterbitkan dan teori-teori apa saja yang sudah ditemukan. Galois meninggalkan beberapa surat yang menyatakan bahwa, “Tanyakan kepada Gauss atau Jacobi agar mereka memberikan opini kepada publik.” Selama 14 tahun, makalah-makalah karya Galois diterbitkan oleh matematikawan Perancis. Alfred menjadi saksi ketenaran kakandanya yang disebut sebagai matematikawan terkenal.
Penelitian persamaan yang dipelopori oleh Galois sekarang dikenal dengan nama teori kelompok (groups theory) dari Galois. Bukan berupaya menangani operasi bilangan, teori kelompok melihat operasi terhadap bilangan. Cukup besar peran teori kelompok bagi matematika modern.
Beberapa hari sebelum meninggalnya, Galois menulis pernyataan, “Ada orang yang memunyai takdir untuk berbuat baik tapi tidak pernah mengalami. Saya percaya bahwa saya adalah salah satunya.” 
Galois dimakamkan di tempat pemakaman umum di South, dimana sekarang tidak diketahui lagi letaknya secara pasti, namun yang pasti Galois meninggalkan warisan berupa kumpulan makalah sebanyak 60 halaman.


*) Kesalahan ini dapat disebut dengan menyia-nyiakan waktu karena penyelesaian persamaan pangkat 4 dan pangkat 5 tidak mungkin. Barangkali Galois tidak mengetahui bahwa Abel beberapa tahun sebelumnya melakukan hal yang sama. 

Posting Komentar untuk "Evariste Galois"