Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

 Tulis Artikel dan dapatkan Bayaran Tiap Kunjungan Rp 10-25 / kunjungan. JOIN SEKARANG || INFO LEBIH LANJUT

Tahap dan Proses Pembentukan Karakter

Dewasa ini masyarakat Indonesia sudah banyak yang sikapnya menyimpang dari nila-nilai, moral, budaya dan agama. Bahkan mayoritas pelakunya adalah anak remaja yang masih duduk di bangku sekolah yang seharusnya mereka bisa menempatkan pendidikan kepribadian yang mereka peroleh untuk hal-hal yang baik dan menerapkan sebagaimana mestinya. Pendidikan di Indonesia masih dapat dikatakan tertinggal dibandingkan pendidikan di negara-negara maju.
Oleh karena itu sikap, tanggung jawab, ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi yang dimiliki juga masih tertinggal jauh. Dampak globalisasi yang terjadi saat ini membawa masyarakat Indonesia melupakan pendidikan karakter bangsa. Padahal, pendidikan karakter merupakan suatu pondasi bangsa yang sangat penting dan perlu ditanamkan sejak dini kepada anak-anak. Anak-anak merupakan generasi penerus bangsa yang apabila dididik dengan cara yang bijaksana akan menghasilkan produk anak bangsa yang berkarakter dan berjiwa besar.

Untuk membentuk karakter anak yang baik, di sekolah telah diajarkan pendidikan kepribadian yang tujuannya untuk mewujudkan perilaku yang mengedepankan keimanan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pendidikan Kepribadian juga dapat diartikan sebagai Pendidikan Karakter yang akan membentuk karakter baik pada diri anak. Landasan untuk membentuk karakter baik tersebut tentu datang dari keyakinan yang dimiliki anak didik itu sendiri. Pendidikan Agama yang diajarkan oleh orang tua dan guru di sekolah merupakan pedoman anak untuk membentuk karakter pribadinya. Sedangkan yang menjadi masalah saat ini adalah pemerintah Indonesia sedang kesulitan untuk menerapkan sistem pendidikan karakter guna mendidik anak dan para generasi penerus bangsa menjadi manusia yang berkarakter dan bermartabat.

Hakikat Pendidikan Karakter

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata didik, dengan diberi awalan “pe” dan akhiran “an” yang berarti “proses pengubahan sikap dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan.” Sedangkan arti mendidik itu sendiri adalah memelihara dan memberi latihan (ajaran) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Istilah pendidikan adalah terjemahan dari bahasa Yunani paedagogie yang berarti “pendidikan” dan paedagogia yang berarti pergaulan dengan anak-anak. Sedangkan orang yang tugasnya membimbing atau mendidik dalam pertumbuhannya agar dapat berdiri sendiri disebut paedagogos.

Berpijak dari istilah di atas, pendidikan bisa diartikan sebagai usaha yag dilakukan orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk membimbing/memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya kearah kedewasaan. Atau dengan kata lain pendidikan ialah bimbingan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada anak-anak dalam pertumbuhannya baik jasmani maupun rohani agar berguna bagi diri sendiri dan masyarakatnya

Sedangkan pendidikan menurut John Dewey dalam Muslich (2011) adalah proses pembentukan kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional kearah alam dan sesama manusia. Tujuan pendidikan dalam hal ini agar generasi muda sebagai penerus generasi tua dapat menghayati, memahami, mengamalkan nilai-nilai atau norma-norma tersebut dengan cara mewariskan segala pengalaman, pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang melatarbelakangi nilai-nilai dan norma-norma hidup dan kehidupan.

Dalam kamus Bahasa Indonesia (2008) disebutkan, bahwa karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak/budi pekerti yang membedakan seseorang dengan orang lain. Kata karakter berasal dari Yunani, charassein, yang berarti to engrave atau mengukir di atas batu permata atau permukaan besi yang keras. Karakter kemudian diartikan”…an individuals pattern of behavior…his moral constitution …”( Bohlin, 2001). Sedangkan di dalam Kebijakan Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2025 (2010) disebutkan, bahwa karakter bangsa adalah kualitas perilaku kolektif kebangsaan yang khas, baik yang tercermin dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku berbangsa & bernegara sebagai hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olah raga seseorang atau sekelompok orang.

Menurut Simon Philips dalam buku Refleksi Karakter Bangsa (2008:235), karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, siakp, dan perilaku yang ditampilkan. Sementara itu, Koesoema A (2007:80) dalam Muslich (2011:70) menyatakan bahwa karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai “ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil dan juga bawaan seseorang sejak lahir.” Prof. Suyanto, Ph.D menyatakan bahwa karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Imam Ghozali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan akhlak, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi. Dengan demikian karakter bangsa sebagai kondisi watak yang merupakan identitas bangsa.

Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa karakter itu berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi orang berkarakter adalah orang yang mempunyai kualitas moral (tertentu) positif. Dengan demikian pendidikan adalah membangun karakter, yang secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau yang baik, bukan yang negatif atau yang buruk. Sehingga kesimpulan yang dapat diambil mengenai karakter adalah kualitas atau kekuatan mental atau moral, akhlak atau budi pekerti individu yang menjadi kepribadian khusus sebagai pendorong dan penggerak serta membedakannya dengan yang lain. Dalam upaya membentuk karakter anak, harus disesuaikan dengan dunia anak tersebut, maksudnya adalah harus selaras atau seimbang dengan tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan anak.

Tujuan Pendidikan Karakter

Berdasarkan Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dijelaskan bahwa tujuan Pendidikan Kepribadian mengarahkan perhatian pada moral yang diharapkan terwujud dalam kehidupan sehari-hari, yaitu perilaku yang memancarkan iman dan takwa terhadap Tuhan YME dalam masyarakat yang terdiri atas berbagai golongan agama, kebudayaan dan beraneka ragam kepentingan, perilaku yang mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan perorangan dan golongan sehingga perbedaan pemikiran, diarahkan pada perilaku yang mendukung upaya mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tujuan pendidikan diartikan sebagai seperangkat tindakan intelektual penuh tanggung jawab yang harus dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dapat dianggap mampu melaksanakan tugas-tugas dalam bidang profesi tertentu. Pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila. Hal ini sekaligus menjadi upaya untuk mendukung perwujudan cita-cita sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.

Menurut Kabul Budiyono (2007) Pendidikan Kepribadian atau Pendidikan Karakater bertujuan untuk menghasilkan peserta didik dengan sikap dan perilaku, yaitu:
  1. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Berperi- kemanusiaan yang adil dan beradap.
  3. Mendukung persatuan bangsa.
  4. Mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan individu dan golongan.
  5. Mendukung upaya untuk mewujudkan suatu keadilan sosial dalam masyarakat. Melalui Pendidikan Kepribadian, warga Negara Republik Indonesia diharapkan mampu memahami, menganalisis dan menjawab masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat bangsanya secara berkesinambungan dan konsisten dengan cita-cita dan tujuan nasional dalam Pembukaan UUD 1945.

Pengertian Pembentukan Karakter

Karakter merupakan akar kata dari bahasa latin yang berarti dipahat (Mark Rutland: 2009, 3). Kehidupan seperti balok besi, bila dipahat dengan penuh kehati- hatian akan menjadi sebuah karya besar yang mengagumkan. Sama halnya dengan karakter anak, apabila kita mengarahkan dan menbentuk karakter pada anak dengan penuh kehati-hatian dan dengan cara yang tepat maka akan dihasilkan karakter anak yang baik pula. Maka dari itu, karakter merupakan kualitas atas kekuatan mental atau moral, akhlak atau budi pekerti seseorang yang menjadi kepribadian khusus sebagai pendorong dan penggerak serta membedakannya dengan yang lain.

Dalam upaya mendidik karakter anak, maka harus disesuaikan dengan dunia anak tersebut. Selain itu juga harus disesuaikan sengan pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut. Melalui pendidikan keluarga, sekolah, dan lingkungan sosial anak bisa mengetahui dan mengembangkan karakter yang ia miliki. Sehingga, dalam hal ini ketiga lingkungan tersebut haruslah menjadi lingkungan yang baik dan positif, terutama lingkungan keluarga. Keluarga merupakan dunia pertama yang akan ditemui dan di alami anak. Maka dari itu, orang tua mempunyai peran yang sangat penting dalam pembentukan karakter anak. Pendidikan Agama merupakan pendidikan terpenting yang harus diajarkan dan ditanamkan kepada anak sejak dini. Karena agama sebagai unsur esensi dalam kepribadian manusia dapat memberikan peranan positif dalam perjalanan kehidupan manusia, selain kebenarannya masih dapat diyakini secara mutlak. Pendidikan agama berperan sebagai pengendali dan pengontrol tingkah laku atau perbuatan yang terlahir dari sebuah keinginan yang berdasarkan emosi. Jika pendidikan agama sudah terbiasa dijadikannya sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari dan sudah ditanamkannya sejak dini, maka tingkah lakunya akan lebih terkendali dan terkontrol.

Teori Pembentukan Karakter

Sebenarnya ada banyak teori tentang pembentukan karakter yang bisa dipelajari, salah satunya adalah teori kode warna manusia yang dicetuskan oleh Taylor Hartman yang membagi manusia berdasarkan motif dasarnya. Namun Stephen Covey melalui bukunya “Kebiasaan Manusia Yang Sangat Efektif” menyimpulkan bahwa sebenarnya ada tiga teori utama yang mendasarinya, yaitu :

Determinisme Genetis

Pada dasarnya, mengatakan bahwa kakek nenek andalah yang berbuat begitu kepada anda, itulah sebabnya anda memiliki tabiat seperti ini. Kakek nenek anda mudah marah dan itu ada pada DNA anda. Sifat ini diteruskan dari generasi ke generasi berikutnya dan anda mewarisinya.

Determinisme Psikis

Teori ini mengatakan bahwa, pada dasarnya orangtua andalah yang berbuat begitu kepada anda. Pengasuhan anda, pengalaman masa anak-anak anda pada dasarnya membentuk kecenderungan pribadi dan susunan karakter anda. Itulah sebabnya anda takut berdiri di depan banyak orang. Begitulah cara orangtua anda membesarkan anda. Anda merasa sangat bersalah jika anda membuat kesalahan karena anda ”ingat jauh di dalam hati tentang peduli dan naskah emosional anda ketika anda sangat rentan, lembek dan bergantung


Determinisme Lingkungan

Pada dasarnya mengatakan bos anda berbuat begitu kepada anda atau pasangan anda atau anak remaja yang berandal itu atau situasi ekonomi anda atau kebijakan nasional. Seseorang atau sesuatu di lingkungan anda bertanggungjawab atas situasi anda.

Menurut teori perkembangan karakter Determinisme Genetis, jawaban atas pertanyaan, “Mengapa karakter saya seperti ini ?” adalah karena anda memang dilahirkan dengan gen seperti itu. Jika teori Determinisme Psikis yang menjadi jawaban atas kelebihan dan kekurangn kepribadian anda, maka salahkan orang tua anda yang kurang pandai mendidik ketika anda masih kecil. Demikian juga jika dalil Determinisme Lingkungan yang menjadi jawaban atas hidup anda yang serba kekurangan dan jauh dari cukup.

Proses Pembentukan Karakter

Pembentukan karakter diklasifikasikan dalam 5 tahapan yang berurutan dan sesuai usia, yaitu:
  1. Tahap pertama adalah membentuk adab, antara usia 5 sampai 6 tahun. Tahapan ini meliputi jujur, mengenal antara yang benar dan yang salah, mengenal antara yang baik dan yang buruk serta mengenal mana yang diperintahkan, misalnya dalam agama.
  2. Tahap kedua adalah melatih tanggung jawab diri antara usia 7 sampai 8 tahun. Tahapan ini meliputi perintah menjalankan kewajiban shalat, melatih melakukan hal yang berkaitan dengan kebutuhan pribadi secara mandiri, serta dididik untuk selalu tertib dan disiplin sebagaimana yang telah tercermin dalam pelaksanaan shalat mereka.
  3. Tahap ketiga adalah membentuk sikap kepedulian antara usia 9sampai 10 tahun. Tahapan ini meliputi diajarkan untuk peduli terhadap orang lain terutama teman-teman sebaya, dididik untuk menghargai dan menghormati hak orang lain, mampu bekerjasama serta mau membantu orang lain.
  4. Tahap keempat adalah membentuk kemandirian, antara usia 11 sampai 12 tahun. Tahapan ini melatih anak untuk belajar menerima resiko sebagai bentuk konsekuensi bila tidak mematuhi perintah, dididik untuk membedakan yang baik dan yang buruk.
  5. Tahap kelima adalah membentuk sikap bermasyarakat, pada usia 13 tahun ke atas. Tahapan ini melatih kesiapan bergaul di masyarakat berbekal pada pengalaman sebelumnya. Bila mampu dilaksanakan dengan baik, maka pada usia yang selanjutnya hanya diperlukan penyempurnaan dan pengembangan secukupnya. (Miya Nur Andina dalam Chacha.blog: 2013):
Pendidikan yang diajarkan oleh guru di sekolah merupakan proses untuk membentuk karakter anak yang kurang baik menjadi yang lebih baik. Sehingga diusia sekolah anak harus selalu dikontrol dan diawasi dengan baik. Sehingga pendidikan yang ia peroleh tidak disalahgunakan dan bisa diterapkan serta diaplikasikan dengan baik dan benar. Unsur terpenting dalam pembentukan karakter adalah pikirankarena pikiran/i9, yang di dalamnya terdapat seluruh program yang terbentuk dari pengalaman hidupnya (Rhonda Byrne, 2007:17). Program ini kemudian membentuk system kepercayaan yang akhirnya dapat membentuk pola berpikirnya yang bisa mempengaruhi perilakunya. Jika program yang tertanam tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran universal, maka perilakunya berjalan selaras dengan hukum alam. Hasilnya, perilaku tersebut membawa ketenangan dan kebahagiaan. Sebaliknya, jika program tersebut tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum universal, maka perilkaunya membawa kerusakan dan menghasilkan penderitaan. Oleh karena itu, pikiran harus mendapatkan perhatian serius.

Menurut Muslich, (2011: 6) beberapa langkah yang dapat diambil pemerintah untuk membangun karakter bangsa, yaitu pertama menginternalisasikan pendidikan karakter pada instansi pendidikan semenjak tingkat dini atau kanak-kanak. Pendidikan karakter yang dilakukan di instansi pendidikan dapat dilakukan dengan selalu memberikan arahan mengenai konsep baik dan buruk sesuai dengan tahap perkembangan usia anak. Sebagai contoh, penerapan pendidikan karakter di instansi pendidikan dapat mengikuti pilot project SBB dan TK Karakter milik Indonesia Heritage Foundation.

Kedua, menanamkan sebuah koordinasi gerakan revitalisasi kebangsaan bersama generasi muda, yang diarahkan terutama pada penguatan ketahanan masyarakat dan bangsa terhadap upaya nihilisasi pihak luar terhadap nilai-nilai budaya positif bangsa Indonesia. Upaya ini memerlukan andil generasi muda sebagaai subjek program karena para generasi muda adalah penerus bangsa yang akan menetukan masa depan dan integritas bangsa Indonesia.

Ketiga, Meningkatkan daya saing bangsa dalam bentuk kemajuan IPTEK. Menurut Porter (dalam Rajasa, 2007 dalam Muslich, 2011), pemahaman daya saing sebagai salah satu keunggulan yang dimiliki suatu entitas dibandingkan dengan entitas lainnya, bukanlah baru muncul diera ke-21 sekarang ini. Peran daya saing dalam mewujudkan suatu entitas lebih unggul dibandingkan lainnya yang sebenarnya suatu keniscayaan semenjak masa lampau. Daya saing di sini tentunya harus dipahami dalam arti yang sangat luas. Peran teknologi informasi dan telekomunikasi menurut Porter, hanya sebatas mempercepat sekaligus memperbesar peran daya saing dalam menentukan keunggulan suatu entitas dibandingkan dengan entitas lainnya.

Keempat, menggunakan media massa sebagai penyalur upaya pembangunan karakter bangsa. Menurut Oetama, 2006 peran media ada tiga, yaitu sebagai penyampai informasi, edukasi dan hiburan. Peran strategis ini hendaknya dapat diberdayakan pemerintah bekerjasama dengan pemilik media dalam penayangan informasi yang positif dan mendukung terciptanya karakter bangsa yang kompetitif.

Untuk membentuk karakter pada anak memerlukan waktu dan proses yang tepat, agar anak mampu memahami dan mengimplementasikan dengan tepat juga. Untuk membentuk karakter seseorang juga melalui proses yang panjang. Segala sesuatu memang memerlukan proses dan tata cara yang tepat dan benar. Anak-anak bukanlah komputer yang apabila kita klik dan kita perintah langsung mengikuti apa yang kita perintahkan. Anak-anak ibarat masakan yang apabila kita memasak dan mengolahnya dengan baik dan benar serta kita bisa mengukur kematangannya, masakan itu akan menjadi makanan yang enak dan lezat. Proses pembentukan karakter pada anak bukanlah suatu proses sehari dua hari, namun bisa berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Misalnya, seorang anak asal Indonesia yang mempunyai karakter buruk tinggal di Malaysia menyusul orang tuanya selama tiga tahun dengan harapan apabila ia kembali pulang ke Indonesia karakternya berubah menjadi anak yang baik, tetapi ternyata setelah tiga tahun dan kembali ke Indonesia karakter buruknya belum berubah. Hal ini membuktikan bahwa untuk merubah atau membentuk karakter baik pada anak membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
  • Pengenalan
    Pengenalan merupakam tahap pertama dalam proses pembentukan karakter. Untuk seorang anak, dia mulai mengenal berbagai karakter yang baik melalui lingkungan keluarga, karena keluarga merupakan lingkungan pertama tempat anak belajar dan membentuk kepribadiannya sejak kecil. Apabila anggota keluarga memberi contoh yang baik, maka anak juga akan meniru perbuatan yang baik pula. Akan tetapi, apabila keluarga memberi contoh yang tidak baik maka anak juga akan meniru yang tidak baik pula. Misalnya, orang tua memberi contoh selalu disiplin dan tepat waktu dalam segala hal, maka secara tidak langsung si anak akan meniru dan melakukan hal yang sama seperti orang tuanya, selalu tepat waktu dan bersikap disiplin dalam segala hal. Akan tetapi apabila orang tua memberi contoh kepada anak untuk selalu menunda-nunda pekerjaan, maka anak juga akan selalu menunda-nunda apa yang akan ia kerjakan. Maka dari itu keluarga mempunyai peran penting dalam perkembangan kepribadian anak. Melalui tahap inilah seorang anak akan mengenal kebiasaan.
    • Pemahaman
      Tahap pemahaman berlangsung setelah tahap pengenalan. Setelah anak mengenal dan melihat orang tuanya selalu disiplin dan tepat waktu, bangun pagi pukul lima, selalu sarapan setiap pagi, berangkat ke sekolah atau kerja tepat waktu, pulang sekolah atau kerja tepat waktu, dan shalat lima waktu sehari dengan waktu yang tepat dan sebagainya, maka anak akan mencoba berpikir dan bertanya, “Mengapa kita harus melakukan semuanya dengan baik dan tepat waktu?” Setelah anak bertanya mengenai kebiasaan orang tuanya, kemudian orang tuanya menjelaskan, “Apabila kita melakukan sesuatu dengan tepat waktu maka berarti kita menghargai waktu yang kita miliki, kita akan diberi kepercayaan oleh orang lain, dapat diandalkan, dan tidak akan mengecewakan orang lain. Misalnya kalau ayah biasanya pulang kerja pukul empat dan ayah sebelumnya sudah berjanji setelah ayah pulang kerja kita akan diajak jalan-jalan, tetapi pada saat itu ayah pulang kerja tidak seperti biasanya pukul empat melainkan pukul tujuh malam dan kita tidak jadi jalan-jalan bersama, perasaan adik bagaimana? Sedih dan kecewa kan! Maka dari itu kita tidak boleh menyia-nyiakan waktu.” Dengan penjelasan yang baik dan pelan-pelan maka si anak akan berpikir apabila dia pulang sekolah terlambat akan membuat orang tuanya khawatir dan panik, sehingga ia akan berusaha tidak menyia-nyiakan waktu. Dengan begitu pemahaman telah ia dapatkan melalui penjelasan orang tuanya.
      • Penerapan
        Melalui pemahaman yang telah ia dapatkan dari orang tuanya maka si anak akan mencoba menerapkan dan mengimplementasikan hal-hal yang telah diajarkan oleh orang tuanya. Pada awalnya anak hanya sekedar melaksanakan dan meniru kebiasaan orang tuanya. Anak belum menyadari dan memahami bentuk karakter apa yang ia terapkan.
        • Pengulangan/Pembiasaan
          Didasari oleh pemahaman dan penerapan yang secara bertahap ia lakukan, maka secara tidak langsung si anak akan terbiasa dengan kedisiplinan yang diajarkan oleh orang tuanya..Setelah setiap hari dia melakukan hal tersebut hal itu akan menjadi kebiasaan yang sudah biasa ia lakukan bahkan sampai besar nanti. Pembiasaan ini juga harus diimbangi dengan konsistensi kebiasaan orang tua. Apabila orang tua tidak konsisten dalam mengajarkan pembiasaan, maka anak juga akan melakukannya dengan setengah-setengah. Apabila anak sudah tebiasa, maka hal apapun jika tidak ia lakukan dengan tepat waktu maka dalam hatinya ia akan merasakan kegelisahan.
          • Pembudayaan
            Apabila kebiasaan baik dilakukan berulang-ulang setiap hari maka hal ini akan membudaya menjadi karakter. Terminologi pembudayaan menunjukkan ikut sertanya lingkungan dalam melakukan hal yang sama. Kedisiplinan seakan sudah menjadi kesepakatan yang hidup di lingkungan masyarakat, apalagi di lingkungan sekolah. Ada orang yang senantiasa mengingatkan apabila seseorang telah melanggar peraturan. Sama halnya dengan masalah kedisiplinan di dalam keluarga, apabila salah satu anggota keluarga tidak disiplin sesuai peraturan yang ditetapkan, maka anggota keluarga lain mengingatkan dan saling menegur. Tidak jauh berbeda di lingkungan sekolah, misalnya seorang siswa datang terlambat ketika guru sudah menerangkan pelajaran panjang lebar, kemudian siswa tersebut masuk kelas dengan keadaan gugup dan takut apabila dimarahi oleh gurunya, belum lagi disorakin oleh teman-temannya. Setelah itu gurunya mengingatkan dan memberi peringatan kepada siswa agar tidak datang terlambat lagi. Akhirnya dia akan berusaha agar ia tidak datang terlambat lagi.
            • Internalisasi
              Tahap terakhir adalah internalisasi menjadi karakter. Sumber motivasi untuk melakukan respon adalah dari dalah hati nurani. Karakter ini akan semakin kuat apabila didukung oleh suatu ideology atau believe. Si anak percaya bahwa hal yang ia lakukan adalah baik. Apabila ia tidak disiplin maka ia akan menjadi anak yang tidak bisa menghargai waktu dan susah di komtrol.

              Kesimpulan
              Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan penjelasan di atas adalah :
              1. Pendidikan adalah usaha yag dilakukan oleh orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk membimbing/memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya kearah kedewasaan agar berguna bagi diri sendiri dan masyarakatnya
              2. Karakter berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi orang berkarakter adalah orang yang mempunyai kualitas moral (tertentu) positif. Dengan demikian pendidikan adalah membangun karakter, yang secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau yang baik, bukan yang negatif atau yang buruk.
              3. Tujuan dari pendidikan karakter adalah untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila. Hal ini sekaligus menjadi upaya untuk mendukung perwujudan cita-cita sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
              4. Ada banyak teori tentang pembentukan karakter yang bisa dipelajari, salah satunya adalah teori kode warna manusia yang dicetuskan oleh Taylor Hartman yang membagi manusia berdasarkan motif dasarnya. Namun Stephen Covey menyimpulkan bahwa sebenarnya ada tiga teori utama yang mendasarinya, yaitu Determinisme Genetis, Psikis, dan
              5. Untuk membentuk karakter pada anak dibutuhkan suatu proses, tidak dengan cara yang instan. Proses tersebut yaitu, pengenalan, pemahaman, penerapan, pengulangan, pembudayaan, dan internalisasi menjadi karakter.
              DAFTAR PUSTAKA
              Muslich, Masnur. 2011. Pendidikan Karakter “Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional”. Jakarta: Bumi Aksara.
              Budiyono, Kabul. 2007. Nilai-nilai Kepribadian dan Kejuangan Bangsa Indonesia. Bandung: Alfabeta.
              Aat Syafaat dan Sohari Sahrani. 2008. Peranan Pendidikan Agama Islam Dalam Mencegah Kenakalan Remaja. Serang: Rajawali Pers.
              Sain, Syahrial. 2001. Samudera Rahmat. (Jakarta: Karya Dunia Pikir).
              Miya Nur Andina. Peran Pendidikan Agama Islam Sebagai Pembentukan Karakter Anak. (http://miyanurandinaperdanaputra.blogspot.com). Diunduh pada Senin,27 Oktober 2014 11.35.
              Chacha. Pendidikan Agama Dalam Pembentukan Karakter (http://chacha.blogspot.com). Diunduh pada hari Senin, 27 Oktober 2014, 11:46.

              _____________
              Disusun Oleh:
              Resy Deolita

              Posting Komentar untuk "Tahap dan Proses Pembentukan Karakter"